HAM

277
BAB V
HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
A. Perkembangan Hak Asasi Manusia
Wacana hak asasi manusia bukanlah wacana yang asing dalam diskursus politik
dan ketatanegaraan di Indonesia. Kita bisa menemuinya dengan gamblang dalam
perjalanan sejarah pembentukkan bangsa ini, di mana perbincangan mengenai hak asasi
manusia menjadi bagian daripadanya. Jauh sebelum kemerdekaan, para perintis bangsa
ini telah memercikkan pikiran-pikiran untuk memperjuangkan harkat dan martabat
manusia yang lebih baik. Pecikan pikiran tersebut dapat dibaca dalam surat-surat R.A.
Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, karangan-karangan politik yang
ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi
Soeryaningrat, petisi yang dibuat oleh Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang
berjudul ”Indonesia Menggugat” dan Hatta dengan judul ”Indonesia Merdeka” yang
dibacakan di depan pengadilan Hindia Belanda. Percikan-percikan pemikiran pada masa
pergerakan kemerdekaan itu, yang terkristalisasi dengan kemerdekaan Indonesia,
menjadi sumber inspirasi ketika konstitusi mulai diperdebatkan di Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di sinilah terlihat bahwa
para pendiri bangsa ini sudah menyadari pentingnya hak asasi manusia sebagai fondasi
bagi negara.
Sub-bab ini berusaha menelusuri perkembangan wacana hak asasi manusia dalam
diskursus politik dan ketatanegaraan di Indonesia, paling tidak dalam kurun waktu
setelah kemerdekaan. Diskursus mengenai hak asasi manusia ditandai dengan
perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai
dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan hak asasi manusia, diikuti dengan
periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde Baru (tahun
1966-1968).354 Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan hak asasi
manusia sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan
sangat serius. Tetapi sayang sekali, pada periode-periode emas tersebut wacana hak
asasi manusia gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi.
354 T. Mulya Lubis, In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New
Order, 1966-1990, Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1993, khususnya bab 2.
278
Perjuangan itu memerlukan waktu lama untuk berhasil, yaitu sampai datangnya
periode reformasi (tahun 1998-2000). Periode ini diawali dengan pelengseran Soeharto
dari kursi Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Inilah periode yang sangat
“friendly” terhadap hak asasi manusia, ditandai dengan diterimanya hak asasi manusia
ke dalam konstitusi dan lahirnya peraturan perundang-undangan di bidang hak asasi
manusia.
(1) Perdebatan Awal tentang Hak Asasi Manusia
Sesuai dengan pembabakan di atas, pemaparan berikut akan dimulai dengan
pembahasan periode pertama. Pada waktu menyusun konstitusi, Undang-Undang Dasar
1945, terjadi perdebatan mengenai apakah hak warga negara perlu dicantumkan dalam
pasal-pasal Undang-Undang Dasar? Soekarno dan Supomo mengajukan pendapat
bahwa hak-hak warga negara tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi.
Sebaliknya, Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya
mencantumkan pasal mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pikiran dengan lisan maupun tulisan di dalam Undang-Undang Dasar. Perdebatan dalam
sidang-sidang BPUPKI tersebut merupakan tonggak penting dalam diskursus hak asasi
manusia di Indonesia, yang memberi pijakan bagi perkembangan wacana hak asasi
manusia periode-periode selanjutnya.
Karena itu, menarik apabila kita menyimak sedikit perdebatan tersebut. Mengapa
Soekarno dan Supomo menolak pencantuman pasal-pasal hak warga negara dalam
Konstitusi Indonesia? Penolakan Soekarno dan Supomo tersebut didasarkan pada
pandangan mereka mengenai dasar negara --yang dalam istilah Soekarno disebut
dengan “Philosofische grondslag” atau dalam istilah Supomo disebut “Staatsidee”--
yang tidak berlandaskan pada faham liberalisme dan kapitalisme. Menurut pandangan
Soekarno, jaminan perlindungan hak warga negara itu --yang berasal dari revolusi
Prancis, merupakan basis dari faham liberalisme dan individualisme yang telah
menyebabkan lahirnya imperialisme dan peperangan antara manusia dengan manusia.
Soekarno menginginkan negara yang mau didirikan itu didasarkan pada asas
kekeluargaan atau gotong-royong, dan karena itu tidak perlu dijamin hak warga negara
di dalamnya.
279
Kutipan di bawah ini akan menunjukkan argumen Soekarno yang menolak
mencantumkan hak-hak warga negara:355
“... saya minta dan menangis kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah
sama sekali faham individualisme itu, janganlah dimasukkan dalam Undang-
Undang Dasar kita yang dinamakan “rights of the citizens” yang sebagai
dianjurkan oleh Republik Prancis itu adanya”.
“... Buat apa kita membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau ia tak
dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet yang
berisi “droits de I’ homme et du citoyen” itu, tidak bisa menghilangkan
kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh
karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada
paham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong dan
keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme
dan liberalisme dari padanya”.
Sedangkan Supomo menolak dicantumkannya hak warga negara dalam pasalpasal
Undang-Undang Dasar dengan alasan yang berbeda. Penolakan Supomo
didasarkan pada pandangannya mengenai ide negara integralistik (staatsidee
integralistik), yang menurutnya cocok dengan sifat dan corak masyarakat Indonesia.
Menurut faham tersebut negara harus bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi
seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun. Dalam negara yang demikian
itu, tidak ada pertentangan antara susunan hukum staat dan susunan hukum individu,
karena individu tidak lain ialah suatu bagian organik dari Staat.356 Makanya hak
individu menjadi tidak relevan dalam paham negara integralistik, yang justru relevan
adalah kewajiban asasi kepada negara. Paham inilah yang mendasari argumen Supomo.
Sebaliknya, mengapa Hatta dan Yamin bersikeras menuntut dicantumkannya hak
warga negara dalam pasal-pasal Konstitusi? Hatta setuju dengan penolakan terhadap
liberalisme dan individualisme, tetapi ia kuatir dengan keinginan untuk memberikan
355 Dikutip dari pidato Soekarno tanggal 15-7-1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah yang
dihimpun oleh RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta , 2004, hlm. 352.
356 Disarikan dari pidato Supomo tanggal 31 Mei 1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah yang
dihimpun oleh RM. A.B. Kusuma, ibid.
280
kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara, bisa menyebabkan negara yang ingin
didirikan itu terjebak dalam otoritarianisme. Berikut argumen Hatta:357
“Tetapi satu hal yang saya kuatirkan kalau tidak ada satu keyakinan atau
satu pertanggungan kepada rakyat dalam hukum dasar yang mengenai
haknya untuk mengeluarkan suara, saya kuatir menghianati di atas Undang-
Undang Dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi satu bentukan
negara yang tidak kita setujui”.
“Sebab itu ada baiknya dalam satu fasal, misalnya fasal yang mengenai
warga negara disebutkan di sebelah hak yang sudah diberikan juga kepada
misalnya tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warga
negara itu jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut disini
hak buat berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain. Tanggungan
ini perlu untuk menjaga supaya negara kita tidak menjadi negara kekuasaan,
sebab kita dasarkan negara kita kepada kedaulatan rakyat”.
Begitu juga dengan Yamin. Sarjana hukum lulusan Belanda itu menolak dengan
keras argumen-argumen yang membela tidak dicantumkannya hak warga negara dalam
Undang-Undang Dasar. “Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam
Undang-Undang Dasar seluas-luasnya. Saya menolak segala alasan-alasan yang
dimajukan untuk tidak memasukkannya. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan
liberalisme, melainkan semata-mata satu kesemestian perlindungan kemerdekaan, yang
harus diakui dalam Undang-undang Dasar,” Yamin mengucapkan pidatonya pada
sidang BPUPKI.358 Pendapat kedua pendiri bangsa ini didukung oleh anggota BPUPKI
lainnya, Liem Koen Hian, yang mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan
buat drukpers, onschendbaarheid van woorden (pers cetak, kebebasan mengeluarkan
pikiran dengan lisan).359 Mereka sangat menyadari bahaya otoritarianisme, sebagaimana
yang mereka lihat terjadi di Jerman menjelang Perang Dunia II, apabila dalam negara
yang mau didirikan itu tidak diberikan jaminan terhadap hak warga negara.
357 Dikutip dari pidato Hatta tanggal 15 Juli 1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah yang dihimpun
oleh RM A.B. Kusuma, ibid, hlm. 345-355.
358 Dikutip dari pidato Muhammad Yamin tanggal 15 Juli 1945 di BPUPKI, berdasarkan naskah
yang dihimpun oleh RM A.B. Kusuma, ibid, hlm. 380.
359 Lihat RM A.B. Kusuma, ibid, hlm. 392.
281
Percikan perdebatan yang dipaparkan di atas berakhir dengan suatu kompromi.
Hak warga negara yang diajukan oleh Hatta, Yamin dan Liem Koen Hian diterima
untuk dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, tetapi dengan terbatas. Keterbatasan
itu bukan hanya dalam arti bahwa hak-hak tersebut lebih lanjut akan diatur oleh undangundang,
tetapi juga dalam arti konseptual.360 Konsep yang digunakan adalah “Hak
Warga Negara” (“rights of the citizens”) bukan “Hak Asasi Manusia” (human rights).
Penggunaan konsep “Hak Warga Negara” itu berarti bahwa secara implisit tidak diakui
paham natural rights yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang
dimiliki oleh manusia karena ia lahir sebagai manusia. Sebagai konsekuensi dari konsep
itu, maka negara ditempatkan sebagai “regulator of rights”, bukan sebagai “guardian of
human rights” –sebagaimana ditempatkan oleh sistem Perlindungan Internasional Hak
Asasi Manusia.
Perdebatan tersebut tidak berakhir begitu saja. Diskursus mengenai hak asasi
manusia muncul kembali --sebagai usaha untuk mengoreksi kelemahan dalam Undang-
Undang Dasar 1945 pada sidang Konstituante (1957-1959). Sebagaimana terrekam
dalam Risalah Konstituente, khususnya dari Komisi Hak Asasi Manusia, perdebatan di
sini jauh lebih sengit dibanding dengan perdebatan di BPUPKI. “Diskusi ini merupakan
pernyataan paling jelas, paling bebas dan paling baik mengenai kesadaran tentang hak
asasi manusia di kalangan rakyat Indonesia,” rekam Buyung Nasution yang melakukan
studi mendalam tentang periode ini.361 Berbeda dengan perdebatan awal di BPUPKI,
diskusi di Konstituante relatif lebih menerima hak asasi manusia dalam pengertian
natural rights,362 dan menganggapnya sebagai substansi Undang-Undang Dasar.
Meskipun ada yang melihat dari perspektif agama atau budaya, perdebatan di
Konstituante sebetulnya telah berhasil menyepakati 24 hak asasi manusia yang akan
disusun dalam satu bab pada konstitusi. Sayang, Konstituante dibubarkan oleh
360 T. Mulya Lubis, op. cit.
361 Lihat Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi
Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995, hlm. 132.
362 Konstituante sangat menghargai keabsahan universalitas Hak Asasi Manusia sebagai hak yang
menjadi bagian inti dari kodrat manusia dan terdapat pada setiap peradaban manusia.
282
Soekarno, akibatnya kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai dalam Konstituante
ikut dikesampingkan, termasuk kesepakatan mengenai hak asasi manusia.
Pembubaran Konstituante tersebut diikuti oleh tindakan Soekarno mengeluarkan
dekrit yang isinya adalah pernyataan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945
yang kemudian dikenal dengan “Dekrit 5 Juli 1959”. Dengan kembali ke Undang-
Undang Dasar 1945, maka status konstitusional hak asasi manusia yang telah diakui
dalam Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar “Sementara” 1950 menjadi mundur
kembali. Makanya setelah rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno digulingkan oleh
gerakan mahasiswa 1966, yang melahirkan rezim Orde Baru, perdebatan mengenai
perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia muncul kembali. Perdebatan itu
muncul pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu
telah membentuk Panitia Ad Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia.363 Hasilnya
adalah sebuah “Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia
dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara”. Tetapi sayang sekali rancangan tersebut
tidak berhasil diajukan ke Sidang Umum MPRS untuk disahkan sebagai ketetapan
MPRS. Alasannya --terutama diajukan oleh fraksi Karya Pembangunan dan ABRI, akan
lebih tepat jika Piagam yang penting itu disiapkan oleh MPR hasil pemilu, bukan oleh
MPR(S) yang bersifat “sementara”.
Kenyataannya, setelah MPR hasil pemilu (1971) terbentuk, Rancangan Piagam
Hak Asasi Manusia itu tidak pernah diajukan lagi. Fraksi Karya Pembangunan dan
fraksi ABRI tidak pernah mengingat lagi apa yang pernah mereka putuskan pada Sidang
Umum MPRS tahun 1968 tersebut.364 Sampai akhirnya datang gelombang besar
“Reformasi”, yang melengserkan Soeharto dari kursi Presiden Indonesia (Mei, 1998)
dan membuka babak baru wacana hak asasi manusia di Indonesia.
(2) Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Baru
Presiden BJ. Habibie yang ditunjuk Soeharto sebagai penggantinya
mengumumkan kabinetnya sebagai “Kabinet Reformasi”. Presiden yang baru ini tidak
363 Panitia Ad Hoc ini dibantu oleh satu Tim Asistensi ilmiah, yang antara lain, melibatkan Prof.
Hazairin SH, Dr. Soekiman Wirjosardjojo, A.G. Pringgodigdo SH, Prof. Notonogoro, SH, Achmad
Subardja SH, Prof. sunario SH, dan Prof. SJ N. Drijarkara. Lihat M. Dawam Rahardjo, Hak Asasi
Manusia: Tantangan Abad ke-21, makalah tidak diterbitkan, 1997.
364 Lihat T. Mulya Lubis, op cit.
283
punya pilihan lain selain memenuhi tuntutan reformasi, yaitu membuka sistem politik
yang selama ini tertutup, menjamin perlindungan hak asasi manusia, menghentikan
korupsi, kolusi dan nepotisme, menghapus dwi-fungsi ABRI, mengadakan pemilu,
membebaskan narapidana politik, dan sebagainya. Perhatian pokok buku ini adalah
yang berkaitan dengan wacana hak asasi manusia pada periode reformasi.
Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai
konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia. Perdebatkan bukan lagi soal-soal
konseptual berkenaan dengan teori hak asasi manusia, tetapi pada soal basis hukumnya,
apakah ditetapkan melalui TAP MPR atau dimasukkan dalam UUD? Gagasan mengenai
Piagam Hak Asasi Manusia yang pernah muncul di awal Orde Baru itu muncul kembali.
Begitu pula gagasan untuk mencatumkannya ke dalam pasal-pasal Undang-Undang
Dasar juga muncul kembali ke dalam wacana perdebatan hak asasi manusia ketika itu.
Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok reformasi ketika itu, maka
perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia. Isinya bukan hanya memuat Piagam Hak Asasi Manusia, tetapi juga
memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan
perlindungan hak asasi manusia, termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi
instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia.365
Hasil Pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Kekuatan politik
pro-reformasi mulai memasuki gelanggang politik formal, yakni MPR/DPR. Selain
berhasil mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai presiden, mereka juga berhasil
menggulirkan terus isu amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada Sidang Tahunan
MPR tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan hak asasi manusia ke
dalam Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. Majelis Permusyawaratan
Rakyat sepakat memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal
Hak Asasi Manusia (dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang
Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Hak-hak yang tercakup di dalamnya
mulai dari kategori hak-hak sipil politik hingga pada kategori hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya. Selain itu, dalam bab ini juga dicantumkan pasal tentang tanggung jawab
365 Presiden Habibie membuat Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 1998-
2003, yang memuat agenda pemerintahannya dalam penegakan hak asasi manusia, meliputi pendidikan
dan sosialisasi hak asasi manusia serta program ratifikasi instrumen internasional hak asasi manusia.
284
negara terutama pemerintah dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak asasi manusia. Di samping itu ditegaskan bahwa untuk menegakkan dan melindungi
hak asasi manusia sesuai prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak
asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Salah satu isu yang menjadi riak-perdebatan dalam proses amandemen itu adalah
masuknya pasal mengenai hak bebas dari pemberlakuan undang-undang yang berlaku
surut (non-retroactivity principle) yakni pasal 28I. Masuknya ketentuan ini dipandang
oleh kalangan aktifis hak asasi manusia dan aktifis pro-reformasi yang tergabung dalam
Koalisi untuk Konstitusi Baru sebagai “sabotase” terhadap upaya mengungkapkan
pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu, khsususnya di masa Orde Baru.
Alasannya pasal itu dapat digunakan oleh para pelaku pelanggaran hak asasi di masa
lalu untuk menghindari tuntutan hukum. Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi
Manusia dan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang lahir setelah
Amandemen Kedua menjadi senjata yang tak dapat digunakan untuk pelanggaran hak
asasi manusia di masa lalu. Sementara anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
beralasan bahwa adanya pasal itu sudah lazim dalam instrumen internasional hak asasi
manusia, khususnya dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
(KIHSP). Selain itu, menurut anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pasal 28I itu
harus dibaca pula dalam kaitannya dengan Pasal 28J ayat (2).
Terlepas dari kontroversi yang dipaparkan di atas, Amandemen Kedua tentang
Hak Asasi Manusia merupakan prestasi gemilang yang dicapai Majelis
Permusyawaratan Rakyat pasca Orde Baru. Amandemen Kedua itu telah mengakhiri
perjalanan panjang bangsa ini dalam memperjuangkan perlindungan konstitusionalitas
hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar. Mulai dari awal penyusunan
Undang-Undang Dasar pada tahun 1945, Konstituante (1957-1959), awal Orde Baru
(1968) dan berakhir pada masa reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang
diskursus hak asasi manusia dalam sejarah politik-hukum Indonesia sekaligus menjadi
bukti bahwa betapa menyesatkan pandangan yang menyatakan hak asasi manusia tidak
dikenal dalam budaya Indonesia.
(3) Undang-Undang Hak Asasi Manusia
285
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, periode reformasi merupakan periode
yang sangat “friendly” terhadap hak asasi manusia. Berbeda halnya dengan periode
Orde Baru yang melancarkan “black-campaign” terhadap isu hak asasi manusia.
Presiden B.J. Habibie dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, maka
sebelum proses amandemen konstitusi bergulir, presiden lebih dulu mengajukan
Rancangan Undang-Undang Hak Asasi Manusia ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk
dibahas. Pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak memakan waktu yang
lama dan pada 23 September 1999 telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan
undang-undang tersebut yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan
MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat
pengakuan yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya
mencakup mulai dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak,
perempuan dan masyarakat adat (indigenous people). Undang-Undang tersebut dengan
gamblang mengakui paham ‘natural rights’, melihat hak asasi manusia sebagai hak
kodrati yang melekat pada manusia. Begitu juga dengan kategorisasi hak-hak di
dalamnya tampak merujuk pada instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia,
seperti Universal Declaration of Human Rights, International Covenan on Civil and
Political Rights, International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights,
International Convention on the Rights of Child, dan seterusnya. Dengan demikian
boleh dikatakan Undang-Undang ini telah mengadopsi norma-norma hak yang terdapat
di dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional tersebut.
Di samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (bab VII). Mulai Pasal 75 sampai Pasal 99 mengatur tentang kewenangan dan
fungsi, keanggotaan, serta struktur kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Jadi kalau sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdiri berdasarkan
Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, maka setelah disahkan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 landasan hukumnya diperkuat dengan Undang-Undang. Hal
yang menarik dalam Undang-Undang ini adalah adanya aturan tentang partisipasi
286
masyarakat (bab VIII), mulai dari Pasal 100 sampai Pasal 103. Aturan ini jelas
memberikan pengakuan legal terhadap keabsahan advokasi hak asasi manusia yang
dilakukan oleh organisasi-organisasi pembela hak asasi manusia atau “human rights
defenders”. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan
Pengadilan Hak Asasi Manusia yang harus dibentuk paling lama dalam jangka waktu
empat tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut (Bab IX).
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana status Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 ini setelah keluarnya Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia?
Apakah tetap berlaku atau tidak? Kaidah “ketentuan yang baru menghapus ketentuan
yang lama” jelas tidak dapat diterapkan di sini. Kaidah tersebut hanya berlaku untuk
norma yang setingkat. Karena kedudukan kedua ketentuan tersebut tidak setingkat, dan
sejalan dengan “stuffenbau theorie des rechts” (hierarchy of norm theory), norma
konstitusi lebih tinggi daripada undang-undang. Maka Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 itu tetap berlaku dan dapat dipandang sebagai ketentuan organik dari
ketentuan hak asasi manusia yang terdapat pada amandemen kedua.
B. Ratifikasi Perjanjian Internasional Hak Asasi Manusia
Pembahasan selanjutnya terkait dengan penerapan instrumen internasional hak
asasi manusia ke dalam hukum nasional. Perbincangan mengenai isu ini biasanya
diletakkan dalam konteks dua ajaran berikut, yakni ajaran dualis (dualistic school) dan
ajaran monis (monistic school). Ajaran yang pertama melihat hukum internasional dan
nasional sebagai dua sistem hukum yang terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Sedangkan
ajaran yang kedua melihat hukum internasional dan nasional sebagai bagian integral
dari sistem yang sama. Meskipun kedua ajaran tersebut dalam prakteknya tumpangtindih,
biasanya negara yang dirujuk menganut ajaran monis adalah Inggris dan
Amerika Serikat. Tetapi hanya Amerika Serikat yang menyatakan dengan gamblang
dalam konstitusinya bahwa “all treaties made or which shall be made, under the
Authority of the United States, shall be the supreme Law of the Land; and the judges in
every State shall be bound thereby”.366 Inilah bedanya dengan Indonesia, yang boleh
366 Dikutip dari Oscar Schachter, “The Charter and the Constitution: The Human Rights
Provisions in American Law”, Vand. L. Rev, 643 Vil 4, hal 643, 1951.
287
dikatakan lebih dekat dengan ajaran yang pertama. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal
11 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945.367
Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia juga tidak bisa menafikan
hukum internasional, tetapi penerapannya harus sesuai dengan ketentuan hukum
Indonesia. Seperti dikatakan di atas, Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar
mensyaratkan dalam proses pemberlakuan hukum internasional ke dalam hukum
nasional terlebih dahulu mengambil langkah transformasi melalui proses perundangundangan
domestik. Proses ini dikenal dengan ratifikasi atau aksesi. Jadi meskipun
Indonesia telah memiliki basis hukum perlindungan hak asasi manusia yang kuat di
dalam negeri seperti dipaparkan di muka, tetap dipandang perlu untuk mengikatkan diri
dengan sistem perlindungan internasional hak asasi manusia. Sebab dengan pengikatan
itu, selain menjadikan hukum internasional sebagai bagian dari hukum nasional
(supreme law of the land), juga memberikan landasan legal kepada warga negaranya
untuk menggunakan mekanisme perlindungan hak asasi manusia internasional, apabila
ia (warga negara) merasa mekanisme domestik telah mengalami “exshausted” alias
menthok.368
Sampai saat ini Indonesia baru meratifikasi 8 (delapan) instrumen internasional
hak asasi manusia dari 25 (dua puluh lima) instrumen internasional pokok hak asasi
manusia. Delapan instrumen internasional hak asasi manusia yang diratifikasi itu
meliputi: (i) Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Politik Perempuan; (ii) Konvensi
Internasional tentang Hak Anak; (iii) Konvensi Internasional tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; (iv) Konvensi Internasional tentang
Anti Apartheid di Bidang Olah Raga; (v) Konvensi Internasional tentang (Anti?)
Menentang Penyiksaan; (vi) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial; (vii) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik;
dan (viii) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
367 Ketentuan itu berbunyi, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat”.
368 Landasan legal ini diperkuat oleh Pasal 17 (1) UU No.39/1999 yang menyatakan “Setiap orang
berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai
Hak Asasi Manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia”.
288
Dibanding dengan jumlah instrumen internasional pokok hak asasi manusia, maka
sebetulnya tingkat ratifikasi Indonesia masih rendah. Sebagai perbandingan, Filipina,
misalnya, telah meratifikasi 18 (delapan belas) konvensi internasional hak asasi
manusia.
Sejak tahun 1998, Indonesia telah memiliki Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia (RANHAM) untuk mengejar ketertinggalan di bidang ratifikasi tersebut.
Dengan adanya RANHAM, diharapkan proses ratifikasi dapat berjalan dengan
terencana. Melalui RANHAM ini, yang periode lima tahun pertamanya dimulai pada
1998-2003, telah disusun skala prioritas untuk melakukan ratifikasi terhadap instrumeninstrumen
hak asasi manusia internasional. Sedangkan pada RANHAM lima tahun
kedua (2004-2009), rencana ratifikasi diprioritaskan pada konvensi-konvensi berikut
ini: (i) Konvensi untuk Penindasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Prostitusi Orang
Lain (pada 2004); (ii) Konvensi tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan
Keluarganya (pada 2005); (iii) Protokol Opsional tentang Hak Anak tentang
Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (pada 2005); (iv) Protokol
Opsional tentang Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik
Bersenjata (pada 2006); (v) Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan
Genosida (pada 2007); Statuta Roma (pada 2008); dan seterusnya. Kalau rencana aksi
ini berjalan, maka pada 2009 Indonesia dapat mensejajarkan diri dengan negara-negara
lain yang tingkat ratifikasinya tinggi.